Gambar ilustrasi pernikahan
Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra
Kita mengetahui dengan pasti, bahwa di antara banyak pertanyaan yang datang kepada para penceramah salah satunya adalah ‘Apa hukum pacaran?’ atau ‘Apakah ada pacaran syar’i atau Islami?’. Fenomena sosial ini sudah mendarah daging di tengah pergumulan kawula muda. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Hanya saja, semakin kesini, pacaran selalu diidentikan sebagai hubungan dua pasang manusia tanpa ikatan pernikahan. Syarat sah dan rukunnya pun tidak sesakral pernikahan. Proses pacaran secara ringkas yaitu: laki-laki ‘menembak’ (menyatakan cinta) kepada sang perempuan, kemudian mereka jadian (kencan).
Pada saat kencan, juga tidak ada pembagian harta yang pasti. Jika tinggal di wilayah patriarkis, tentu sang lelaki akan selalu mentraktir sang perempuan, tanpa tahu apakah akan bisa mendapatkan cinta sesungguhnya atau tidak. Pada saat kencan, banyak pula kegiatan yang dilakukan sangat bertentangan dengan nilai dan norma agama. Misalnya seperti berpegangan tangan, berciuman, sampai melakukan hubungan badan. Padahal, nama mereka belum terikat secara sah di buku nikah. Kegiatan seperti inilah yang menyebabkan para Tuan Guru sering menyampaikan diatas mimbar tentang larangan mendekati zina, terutama QS. Al-Israa ayat 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Ada dua kemungkinan yang akan dihadapi oleh pasangan yang pacaran. Pertama mereka akan melanjutkan ke jenjang pernikahan, atau yang kedua mereka akan berakhir dengan putus (versi tidak resmi dari cerai). Tentu saja proses putus tidak diakomodir oleh pengadilan agama, karena hubungan tersebut bukanlah hubungan resmi.
Akan tetapi, sebenarnya kegiatan pacaran bukanlah seperti yang dideskripsikan oleh penulis sebelumnya. Pada awalnya, pacaran sendiri sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, istilah ini bergeser dengan berubahnya ‘urf (adat kebiasaan) yang awalnya bagus menjadi kebiasaan jelek atau mungkar. Hal ini diterangkan oleh Ustadz Adi Hidayat. Pada mulanya, pacaran adalah tradisi rumpun melayu Islam.
Pada tradisi Melayu, disaat seorang lajang berniat meminang seorang gadis, maka sang lelaki akan mendatangi orang tua si gadis. Cara menyatakan keseriusannya melalui pantun yang akan disampaikan oleh lelaki. Ketika antara kedua keluarga sudah bertemu, maka akan ada jeda selama 40 hari sebelum akad pernikahan. Jeda waktu empat puluh hari inilah yang dimanfaatkan oleh masing-masing lajang dan gadis untuk belajar mengenai hubungan dalam rumah tangga. Sang lelaki akan belajar mengenai masalah fiqih pernikahan, dan perempuan akan dinasehati oleh ibunya dan diajarkan berbagai keterampilan yang akan menunjang skill-nya sebagai ibu rumah tangga.
Selama empat puluh hari itu, sang perempuan akan menggunakan pewarna kuku dari daun pacar. Hal ini menandakan bahwa sang gadis sudah dilamar oleh seorang lelaki dan lelaki yang lain tidak boleh ada yang mengganggunya lagi. Dari sinilah istilah pacaran itu muncul, karena berkaitan dengan pewarna kuku dari daun pacar untuk menandakan bahwa perempuan sedang dalam proses penjajakan sampai ke jenjang pernikahan. Hal ini tentu berkesesuaian dengan hukum islam dalam konteks fikih munakahat, bahwa perempuan yang sudah di-khitbah tidak boleh diganggu. Hal ini karena untuk mempertahankan hubungannya sampai ke jenjang pernikahan.
Dalam adat Banjar sendiri, pacaran juga lebih akrab dikenal dengan istilah basasuluh. Hanya saja dengan tata cara yang agak berbeda. Dalam tradisi basasuluh, pihak laki-laki akan mencari tetuha kampung untuk menyelidiki calon perempuan yang akan dilamar. Begitu pula sebaliknya, dari pihak perempuan juga akan meminta informasi dari tetuha kampung yang bersangkutan terkait dengan profil pihak laki-laki. Pertukaran informasi ini dimaksudkan agar bisa saling mencocokkan terkait dengan kondisi keluarganya, tabiat si calon pengantin, hingga tingkat kealiman dalam agamanya.
Bahkan, pihak perempuan tak jarang mengutus mata-mata, yang biasanya dari keluarganya, ke kampung si laki-laki untuk memastikan orang yang melamar si perempuan memang lelaki baik-baik. Selama empat puluh hari diperhatikan cara dia bekerja, sholat subuh berjamaahnya, sampai rajin hadir ke pengajiannya. Semua diperhatikan dan setiap hari dilaporkan kepada pihak keluarga si perempuan. Sistem ini kurang lebih sama dengan sistem ta’aruf pada gerakan tarbiyah. Hanya saja, peran tetuha kampung digantikan oleh sosok murobbi pemimpin halaqoh.
Maka ketika ada pertanyaan ‘Apakah ada pacaran Islami?’ jawabannya tergantung konteks waktu dan istiadat yang disepakati. Jika istilah pacaran adalah seperti tradisi suku Melayu atau Banjar di zaman dahulu, tentu pacaran itu sangat Islami.
Referensi :
Rasjid, H. Sulaiman. (1994). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Saputra, Logista Deny. (2017). Pelaksanaan Tradisi Basasuluh Suku Banjar Perspektif Konsepsi Khitbah Sayyid Sabiq (Studi di Desa Awang Bangkal Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan). JURISDICTIE Issue No.2 vol.5, Januari 2017 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Yusuf, Wahyudi Ibnu. (2019). Tradisi Basasuluh Suku Banjar Perspektif Ta’aruf dan Khitbah Dalam Fikih Islam. http://majlis-darulmaarif.blogspot.com/2019/09/basasuluh-taaruf-dan-khitbah_29.html
Akbar, M. (2016). Yuk! Mengenal Taaruf. https://www.republika.co.id/berita/ocjq7n336/yuk-mengenal-taaruf.
Video Ceramah Ustadz Adi Hidayat dengan judul ‘Sejarah Pacaran yang Sebenarnya Awalnya Baik, Tapi Sekarang? | Ustadz Adi Hidayat Lc MA’ di kanal Youtube Dakwah Hikmah (https://www.youtube.com/watch?v=Ep5QJcl5qBk&t=37s)