Majalis Logo Tentang Kami

Gambar Masjid Menara Kudus, Simbol Harmoni Akulturasi Agama Islam dan Budaya Jawa.

Budaya Tidak Seremeh Kebaya Seksi, Sobat Rahayu…

Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra

Penulis kadang tergelitik dengan kelakuan sebagian warganet, terutama yang bergabung di beberapa grup Facebook. Anggota grup tersebut sangat mengagung-agungkan kebudayaan Nusantara (baca : Jawa) yang sangat adiluhung, dan mencoba menihilkan peran ‘agama impor’ (baca : Islam) dalam pengaruh kebudayaan Nusantara. Mereka sering menyanjung-nyanjung cantiknya wanita Jawa dan Bali dengan kebaya ketat dan sedikit terbuka. Memuji begitu anggun rambut yang diikat sebongkah konde seraya menghina cadar yang dianggap budaya kadal gurun. Mempertentangkan antara agama dan kebudayaan adalah konten yang setiap hari akan anda temukan di grup tersebut. Tentu dengan slogan ‘Rahayu’ yang dianggap lebih membumi dibanding Assalamu’alaikum.

Konfrontasi antara kaum adat dan kaum agamis bukan barang baru di kepulauan ini, hal ini bahkan sudah ada pada zaman dahulu di Ranah Minang. Pertikaian antara kaum adat dengan kaum paderi cukup membuyarkan fokus melawan penjajah. Begitu juga konflik antara kaum abangan dengan kaum putihan pada masa walisongo. Hal ini sebenarnya tidak akan terjadi jika kita memahami konsep ‘urf hasanah dan kalau kita menyadari, konsep tersebut sudah mulai membudaya di Indonesia.

Sebelum masuk ke pembahasan, ada baiknya kita mengetahui dua term utama yang menjadi fokus utama artikel ini, yakni budaya dan ‘urf hasanah. Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Menurut Richard E. Porter dan Larry A. Samovar di dalam buku Komunikasi Antarbudaya, Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, konsep alam semesta, dan teknologi yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, dari perspektif antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia  dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya itu sendiri dengan akan sangat mudah berubah-ubah ketika bertemu dengan sub-kebudayaan lainnya, atau berkembang seiring majunya teknologi.

‘Urf hasanah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah kebiasaan setempat. Secara istilah, ‘urf hasanah adalah kebiasaan atau tradisi setempat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, sedangkan adat yang bertentangan disebut sebagai ‘urf fasid. ‘Urf hasanah juga bisa dijadikan dalil mengerjakan sesuat dalam kaidah pengambilan hukum fikih. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di :

“Urf (kebiasaan setempat) itu boleh dipergunakan jika terdapat hukum syariat yang membatasi”

Misalnya, di dalam hukum Islam, Rasulullah SAW pernah bersabda yang termaktub di dalam Shahih Bukhari, bahwa Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Yang menjadi permasalahan adalah tidak dijelaskannya standar bagaimana pakaian laki-laki dan pakaian perempuan selain dalam standar aurat. Sehingga, ketika muncul pertanyaan ‘bagaimana hukum lelaki yang menggunakan kaos warna pink?’ Maka indikator pakaian laki-laki dan perempuan baik dalam segi bentuk, corak, warna, motif, dan jenis bahannya diserahkan kepada kesepakatan sub-kultur tertentu di masing-masing wilayah. 

Ketika kita sudah memahami bahwa di dalam budaya juga mengakomodir nilai agama dan agama mempersilahkan budaya yang tidak bertentangan dengan syariat, maka masalah konfrontasi adat dan agama seharusnya sudah selesai. Bahkan, para leluhur kita di Nusantara sudah merumuskan traktat bahwa adat harus sesuai dengan syariat, dan syariat berdasarkan Al-Qur’an. Kearifan lokal di Minang yang berbunyi ‘Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’ dan di Gorontalo yang berbunyi ‘Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Kur'ani’. Integrasi antara agama Islam dan budaya di Nusantara sudah dimulai oleh sebagian ulama Walisongo, seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan tentu saja Sunan Kalijaga. Namun, Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan integrasi budaya seperti wayang sempat mendapatkan pertentangan dari Sunan Giri dan Sunan Ampel. Pada saat itu, wayang memang berbentuk patung yang digerakkan. Hingga jalan tengahnya, wayang akhirnya dijadikan bentuk 2 dimensi yang menggambarkan perwatakan, bukan sosok makhluk. Maka ketika kita melihat sosok ksatria berkulit putih dan berbadan kurus, artinya kita melihat orang saleh (putih) dan sering bertirakat puasa (kurus/ramping). Begitu juga penggambaran sosok penjahat, ia akan diwatakkan sebagai berwarna hitam (jahat) dan bertubuh gemuk (rakus). 

Akhirnya, segala elemen kebudayaan di seantero Nusantara, terutama di wilayah Kesultanan Islam, mengambil makna filosofis Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari cara berpakaian misalnya, kita mengetahui bahwa jumlah kancing di baju teluk belanga yang digunakan suku Melayu. Kancing baju yang berjumlah lima biji melambangkan rukun Islam dan tiga saku baju yang melambangkan iman, Islam, dan ihsan. Filosofi serupa juga terdapat pada baju takwa surjan yang digunakan suku Jawa. Jumlah kancing pada leher surjan adalah tiga pasang kancing (jumlah 6 biji), merupakan gambaran dari rukun iman dalam Agama Islam, sedangkan dua buah kancing di dada kiri dan kanan (tangkep) melambangkan dua kalimat syahadat. Begitu pula sarung yang melapisi celana, yang kebanyakan menjadi pakaian sehari-hari lelaki Nusantara, melambangkan agar mereka lebih ekstra menahan nafsu syahwat. Sedangkan pakaian perempuan, terutama baju adat pernikahan, sekarang sudah banyak modifikasi agar menutup aurat dengan tetap mempertahankan ciri khas kedaerahan.

Kearifan lokal yang lain juga tetap dipertahankan oleh Islam, baik dari segi arsitektur, politik, ekonomi, seni, hingga sosial. Dari segi arsitektur misalnya, konstruksi bangunan rumah yang menyesuaikan kontur tanah dan resapan air, sehingga ketika terjadi gempa dan banjir sudah dapat diantisipasi. Begitu juga kebiasaan memberi jarak dengan rumah tetangga satu meter lebih, sehingga limbah rumah tangga dari sebuah rumah tidak mengenai rumah tetangganya. Dari segi politik, masyarakat kita lebih menyukai sistem musyawarah mufakat secara kekeluargaan untuk memecahkan suatu masalah. Musyawarah ini tentu sangat sesuai dengan nilai Al-Qur’an Surah Asy-Syura ayat 38. Dari segi ekonomi, ada sistem tanah komunal masyarakat Maluku yang mensejahterakan masyarakat pemukim maupun pendatang. Ada pula hukum dagang dan pelayaran Amanna Gappa yang berkesesuaian dengan syariat. Dari segi seni, kita mengetahui perintis sastra bahasa Melayu bernama Raja Ali Haji dengan Gurindam Duabelas yang sarat nasehat agama. Begitu pula seni tari Hadrah al-Banjari yang tetap dipertahankan untuk menyambut tamu. Pada aspek toleransi, sistem sosial seperti tepa seliro di tanah Jawa dan pela gandong di Maluku mampu menjaga toleransi. Di sektor lingkungan, kearifan lokal seperti Sistem Sasi masyarakat Indonesia Timur, gilir balik suku Dayak, dan ilmu tiga hutan suku Sakai Riau tetap dilestarikan.

Sebenarnya, membenturkan antara agama dengan budaya hanyalah strategi nativisasi dari sekularis-transnasional untuk mengadu domba Bangsa Indonesia. Mereka ingin menghancurkan Islam dengan kedok etnosentrisme, menuduh bahwa ajaran agama Islam itu adalah budaya Arab yang datang menghilangkan budaya Nusantara. Padahal, Islam tetap mengakomodir budaya yang tidak bertentangan dengan agama dan meluruskan adat yang menyimpang. Jika ada adat yang berbau tahayul, bid’ah, dan khurafat seperti judi, mengadu hewan, mabuk-mabukan, melakukan sesembahan kepada leluhur dan makhluk gaib, menumbalkan gadis perawan kepada dewa, sampai mempraktekkan ilmu sihir, itulah yang dilawan Islam dengan amar ma’ruf nahi mungkar

Dari sekian banyak kearifan lokal yang tidak dipersoalkan oleh Islam, Sobat Rahayu hanya mempersoalkan jilbab dan cadar yang mulai mengancam eksistensi kebaya seksi. Mungkin Sobat Rahayu itu hanya sekelompok mata keranjang yang ingin menikmati tubuh terbuka tanpa terkekang.


Referensi :

Abdullah, Taufik dkk. (1993). Islam dan kebudayaan Indonesia Dulu, Kini dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Burhanudin, Jajat. (2017). Islam Dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana.

Hamka. (2017). Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Gema Insani.

Koentjaraningrat. (2013). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mulyana, Deddy, dkk. 2014. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ph. O. L. Tobing. (1977). Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Sunyoto, Agus. (2016). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: Mizan Media.

Kadir, Hatib. (2017). Antropolog Hatib Kadir Menguak Alasan Mengapa PKI Tidak Populer di Maluku. (http://kilasmaluku.liputan.co.id/2017/09/27/antropolog-hatib-kadir-menguak-alasan-mengapa-pki-tidak-populer-di-maluku/)


JADWAL MAJELIS KONTEN MAJALIS