Gambar Bantuan Logistik Lembaga Amal Indonesia
Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra
Sudah santer kita dengar, banyak sekali tuduhan-tuduhan tidak jelas yang dialamatkan kepada lembaga-lembaga keislaman akhir-akhir ini. Dari tuduhan masjid radikal, rohis radikal, hingga ormas radikal. Isu ini kembali menghangat ketika kasus peledakan bom di salah satu gereja yang berada di tengah kota Makassar, Sulawesi Tengah. Tragedi yang terjadi pada 28 Maret 2021 tentu memancing banyak Tanya, kenapa aksi seperti ini terjadi lagi?
Lembaga filantropi Islam pun tidak ketinggalan mendapatkan tuduhan teroris pasca kejadian ini. Tudingan tersebut bukan dialamatkan dari orang sembarangan, tetapi dari seorang dosen ahli geopolitik. Isu semacam ini muncul kembali di Kanal Youtube Deddy Corbuzier tepat setelah kejadian bom Makassar. Salah satu konten podcast yang diunggah pada 29 Maret 2021 tersebut mengundang seorang pengamat politik luar negeri dari universitas ternama. Dalam podcast tersebut, beliau menyatakan bahwa yang menggalang dana untuk membantu perjuangan suriah adalah teroris. Bukti yang disodorkan adalah beberapa bukti foto yang memperlihatkan bantuan dari Indonesia yang dikuasai kelompok bersenjata, yang disinyalir berasal dari kelompok anti pemerintah Suriah. Namun benarkah tuduhan ini?
Tuduhan semacam ini bukan pertama kali diacungkan kepada lembaga filantropi Islam. Sudah sejak tahun 2016 tuduhan ini mencuat bersamaan dengan kembali memanasnya konflik Suriah. Deretan nama-nama lembaga filantropi, terutama yang berafiliasi dengan Islam mendapat label tersebut. Salah satu nama besar yang selalu disebut adalah Aksi Cepat Tanggap (ACT). Lembaga amal filantropi Islam yang berada di bawah naungan Global Islamic Philanthropy ini disebut-sebut menyalurkan logistik ke pihak ‘teroris’. Pihak teroris yang dimaksud adalah kelompok oposisi yang menentang kepemimpinan Bashar Al-Assad. ACT dikaitkan dengan hubungan teroris karena bekerjasama dengan lembaga amal internasional IHH yang berpusat di Turki. Tendensi ini sangat wajar dituduhkan karena Turki sendiri menyatakan sikap politik luar negeri yang mengecam kediktatoran rezim Suriah.
Sudah sering pula lembaga amal ini mengklarifikasi bahwa Lembaga amal hanya berpihak kemanusiaan, bukan pada blok politik tertentu. Bapak Ahyudin, Presiden ACT pada saat itu yang sekarang menjadi presiden GIP mengungkapkan bahwa bantuan ke Suriah murni bantuan kemanusiaan. ACT hanya berpihak kepada warga miskin, para janda dan anak-anak korban perang serta para lansia. Tuduhan semua orang yang pergi ke Suriah adalah teroris juga sebuah bentuk asumsi generalisir yang tidak logis.
Penulis sendiri sangat meyakini bahwa besar kemungkinan bantuan itu bisa jadi direbut oleh kelompok bersenjata. Hal ini berdasarkan pengalaman beberapa rekan relawan yang pernah penulis temui semasa mengabdi di lembaga filantropi Islam. Sudah sering kejadian pembajakan bantuan dilakukan ketika terjadi bencana alam. Hal ini memang wajar karena kondisi psikologis masyarakat yang terkena bencana dihadapkan dengan keadaan yang tidak menentu. Maka untuk mempertahankan hidup, mereka akan melakukan segalanya. Jangankan yang bersenjata, warga sipil biasa pun bisa berubah menjadi beringas. Setiap bantuan yang datang selalu dicegat agar kebutuhan untuk mereka akan selalu tersedia. Hal yang miris, terkadang bantuan akhirnya hanya dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Akibatnya distribusi bantuan tidak merata.
Padahal, kegiatan lembaga amal sendiri adalah suatu bentuk komitmen untuk membendung radikalisme dan terorisme. Lembaga amal membantu peran pemerintah untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat. Bapak Hilman Latif, ketua Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah mengatakan peran filantropi Islam sangat vital untuk menanggulangi terorisme. Hal ini dikatakan bahwa akar dari radikalisme yang utama adalah kemiskinan. Ketika seseorang merasa bahwa dunia ini tidak adil, tidak merasakan kesejahteraan, maka akan lebih mudah dipengaruhi. Kemiskinan juga menyebabkan kebodohan. Sehingga seseorang yang mengidap penyakit kebodohan, akan lebih mudah di doktrinisasi. Akhirnya, fakir miskin dan anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 1, banyak diambil alih oleh lembaga filantropi Islam. Apalagi sekarang semua lembaga amal Islam mendapatkan pengawasan dari pemerintah dan berada dalam lingkup koordinasi BAZNAS.
Hal ini dapat dibuktikan melalui kinerja lembaga filantropi untuk kemanusiaan. Sudah sering kita lihat berseliweran di media pemberitaan, disaat bencana alam melanda, maka relawan yang turun pertama kali membersamai adalah lembaga filantropi Islam, Ormas dan partai Islam yang seringkali pula mendapat label radikal. Mereka turun dengan sigap, walau tanpa bantuan sorot kamera media arus utama. Bukan hanya di dalam negeri, bantuan mereka pun sampai ke luar negeri. Kita dapat melihat semangat filantropi Islam yang sudah mendirikan rumah sakit Indonesia di palestina. Di sektor pendidikan juga banyak sekolah tahfidz yang didirikan oleh lembaga-lembaga dari Indonesia. Tidak ketinggalan dapur umum yang menyediakan makanan dan wakaf sumur yang menjaga pasokan air bersih tetap mengalir.
ACT sendiri sebenarnya memiliki program Solidaritas Kemanusiaan Dunia Islam. Program SKDI ini dilaksanakan sebagaimana ke negara-negara lain yang mengalami krisis. Baik itu karena krisis bencana alam seperti dataran Afrika ataupun krisis konflik seperti Palestina, Rohingya, Uyghur dan Kashmir. Biasanya ACT akan mengirimkan bantuan melalui ‘Kapal Kemanusiaan’. ACT tetap menyalurkan bantuan kemanusiaan tanpa melihat latar belakang. Jika memang lembaga filantropi Islam dituduh berafiliasi terhadap kubu politik tertentu, maka hal ini sangat membingungkan. Jika bantuan kemanusiaan yang sampai di Suriah adalah disimbolkan untuk membantu kepentingan oposisi rezim, apakah ketika lembaga tersebut di saat yang sama membantu warga Kashmir bisa disimbolkan sebagai agenda Tiongkok untuk melawan pemerintahan India? Atau ketika membantu warga Uyghur apakah bisa dikatakan mendukung agenda Amerika melawan hegemoni Tiongkok? Tentu tidak bisa disimpulkan seperti itu karena semua agenda kepentingan tadi saling bertolak belakang.
Sudah barang tentu, ini adalah bentuk keteguhan prinsip bahwa Lembaga Filantropi Islam hanya berpihak kepada kemanusiaan. Ini dilakukan karena harga kemanusiaan sendiri sangat mahal dan tak ternilai harganya. Maka, sebagai relawan kemanusiaan yang memiliki empati besar, mereka tidak lagi memandang perbedaan suku, ras, teritori, agama, dan pilihan politik saat menolong orang. Sebagaimana dawuh Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyatakan bahwa “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Referensi:
Latief, Hilman. (2013). Politik Filantropi Islam di Indonesia: Negara, Pasar, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
CNN Indonesia. (2021). Pelaku Bom Makassar Diduga Balas Dendam Usai Mentor Terbunuh. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210403140314-12-625561/pelaku-bom-makassar-diduga-balas-dendam-usai-mentor-terbunuh)
Farid, Ahmad Jilul Qurani. (2019). ACT Jamin Donasi ke Suriah Sepenuhnya untuk Kemanusiaan. (https://www.gatra.com/detail/news/433025/internasional/act-jamin-donasi-ke-suriah-sepenuhnya-untuk-kemanusiaan)
Handayani, Rossi. (2016). Menyakitkan, Lembaga Kemanusiaan yang Berangkat ke Suriah Dicap ISIS. (https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/05/05/o6ov45394-menyakitkan-lembaga-kemanusiaan-yang-berangkat-ke-suriah-dicap-isis)
Meitasnia, Silmi Fadillah. (2021). Sumbangan Indonesia Diduga Dikuasai Teroris Suriah, Dina Sulaeman: Foto yang Beredar itu Bisa Kita Deteksi (https://tasikmalaya.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-061694917/sumbangan-indonesia-diduga-dikuasai-teroris-suriah-dina-sulaeman-foto-yang-beredar-itu-bisa-kita-deteksi?page=3)
Muhyiddin. (2017). Peran Filantropi Islam untuk Tanggulangi Terorisme. (https://www.republika.co.id/berita/orjae1/peran-filantropi-islam-untuk-tanggulangi-terorisme)