Batman vs Superman di event Injustice
Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra
Pembaca mungkin agak mengernyitkan dahi ketika membaca artikel ini. Kenapa ada dua tokoh superhero fiktif diseret ke dalam masalah agama? Tentu yang dimaksud oleh penulis bukan menyoal hukum ‘pakaian ketat’ atau hukum ‘menggunakan celana dalam di luar’. Yang akan penulis bahas adalah terkait konflik dua tokoh komik Amerika ini di event komik Injustice.
Injustice berawal dari kebahagian Superman (Clark Kent) yang sedang berbahagia bersama istrinya, Lois Lane menantikan kelahiran buah hati mereka. Hingga suatu ketika, saat Superman sibuk menangani kejahatan di Metropolis, Superman mendapat kabar bahwa Lois Lane diculik. Seluruh anggota Justice League dikomandoi oleh Batman segera menyelidiki kehilangan Lois. Usut punya usut, ternyata Joker (musuh bebuyutan Batman) yang baru kabur dari penjara adalah pelakunya. Superman dengan cepat segera menuju tempat diculiknya Lois. Seketika Superman terkejut, Joker langsung menyerangnya dengan gas halusinasi yang dicampur dengan kryptonite. Ketika selang beberapa detik, Superman melihat bahwa di hadapannya berdiri sosok Doomsday (musuh bebuyutan Superman). Superman tanpa tedeng aling-aling langsung menyerang, dan memukulinya sampai ke ruang angkasa.
Batman yang sudah sering tahu dengan trik Joker, segera memperingatkan Superman tentang gas halusinasi tersebut. namun sudah terlambat, Superman baru menyadari bahwa yang dihajarnya sejak tadi adalah Lois Lane. Efek halusinasi yang baru habis itu bercampur kesedihan airmata. Singkat cerita setelah pemakaman Lois Lane, Batman langsung menginterogasi Joker. Ditengah perdebatan keras, tiba-tiba Superman mendobrak dinding interogasi. Tanpa babibu, Superman yang dikuasai angkara murka langsung merobek dada Joker, mencengkeram jantungnya dan Joker seketika mati. Batman yang memiliki prinsip keadilan tanpa membunuh tidak sempat lagi menghentikan sikap Superman. Dari sinilah konflik Injustice dimulai.
Di Watchtower, markas Justice League, para anggota terpecah kedalam dua kelompok. Di pihak Superman, mereka menyalahkan prinsip Batman yang tidak langsung menghukum mati pelaku criminal. Akibatnya, para penjahat super menjadi bebas berkeliaran dan membuat kerusakan lebih banyak. Dari sisi Batman tetap bersikeras, walaupun penjahat itu adalah criminal, mereka tetap memiliki hak asasi dan pantas mendapatkan kesempatan kedua. Perdebatan yang tidak berkesudahan itu menyebabkan pecahnya kongsi di dalam tubuh Justice League. Mereka akhirnya memilih jalan masing-masing.
Superman yang didukung pahlawan super Wonder Woman, The Flash, Green lantern, dll. Mencoba menjadi polisi dunia. Mereka awalnya bergerak untuk perdamaian dan mencegah peperangan di berbagai tempat. Tetapi, semakin lama orientasi Superman dalam menjaga kedamaian lambat laun mulai bergeser. Akhirnya Superman menjadi seorang diktator yang menghabisi siapa saja yang menentangnya. Superman bahkan membantai dengan kejam sekumpulan anak muda yang berpesta dengan menggunakan kostum Joker. Mereka mengkritik sikap Superman yang semena-mena, bahkan mau bermain menjadi ‘Tuhan’. Sikap Superman yang otoriter menyebabkan ketakutan baru di dunia. Akhirnya, Superman tak ubahnya menjadi seorang tiran yang menakutkan bagi seluruh dunia.
Dari cerita tersebut, ada dua hal yang akan disoroti oleh penulis. Pertama adalah prinsip hak asasi yang dipegang oleh Batman. Walaupun sikap Batman ini adalah sikap yang dinilai menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi, tapi ada kesalahan fatal yang tidak dia sadari. Kesalahan fatalnya adalah membiarkan para penjahat super yang psikopat tetap terus hidup dan dapat kabur dari Arkham Asylum (penjara) kapan saja. Batman merupakan perlambangan dari sikap liberalism yang menjunjung hak asasi manusia. Hanya saja, dia tidak sadar, bahwa para pembunuh itu adalah orang-orang yang tidak peduli dengan hak asasi manusia. Islam, dengan kelengkapan perangkat hukumnya menegaskan bahwa pembunuh wajib untuk diambil hak hidupnya karena mengambil hak hidup orang lain. Hal ini termaktub di dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 178)
Islam berusaha untuk menegakkan keadilan dan membela hak-hak orang yang lemah. Dalam konteks ini adalah pihak korban yang direnggut nyawanya. Islam memberikan opsi pertama untuk hukum qishaash (hukuman mati) untuk pembunuh. Hal ini bukan berarti Islam agama yang melulu kekerasan, karena lanjutan ayatnya adalah opsi pengampunan atau maaf bagi pembunuh. Pengampunan tersebut tentu dengan syarat apabila keluarga korban memaafkan. Jika keluarga korban memaafkan, maka pembunuh tadi tidak akan dihukum mati, namun wajib di ta’zir (dihukum) dan membayar diyat (denda/ganti rugi) kepada keluarga korban.
Kemudian pihak liberal menyerang Islam bahwa ini adalah ajaran kekerasan. Jika kita membunuh apa bedanya kita dengan pembunuh itu? Mereka bahkan sampai membuat hari anti hukuman mati. Mereka menuduh Islam tidak menghargai nyawa manusia. Maka tentu ini adalah tuduhan yang bodoh. Ketika seorang pembunuh membunuh seseorang, maka dasarnya bisa jadi karena amarah, dendam, terlibat perkelahian, bahkan nafsu bejat. Berbeda dengan kaum muslimin yang membunuh orang atas dasar qishash, maka pembunuhan itu adalah atas dasar menegakkan hukum Allah SWT dan menegakkan keadilan. Ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)
KH Sulaiman Rasjid (Pendiri IAIN Raden Intan Lampung) menerangkan, Allah SWT memberikan hukuman yang berat guna menjaga keselamatan dan ketentraman umum. Hukuman mati bertujuan untuk memberikan shock therapy bagi masyarakat agar jangan sampai terjadi lagi perbuatan tersebut. Orang-orang akan jadi berpikir ribuan kali sebelum bertindak mengambil nyawa orang lain. Dengan berhentinya perbuatan yang buas itu, umat Islam, dan manusia pada umumnya akan hidup aman dan damai. Karenanya, jika saja Batman mengiyakan hukuman mati kepada Joker dan kriminal psikopat lainnya, maka mungkin nyawa Lois Lane akan bisa diselamatkan.
Permasalahan kedua adalah pada tindakan Superman. Memang, dia membunuh orang yang membunuh istrinya adalah suatu permakluman. Tetapi, setelah itu dia akhirnya melampaui batas dengan membunuh semua orang yang tidak setuju dengan dirinya. Ini adalah problem baru dalam qishaash. Disinilah Islam mengatur bahwa menjatuhkan hukuman pun tidak serta merta langsung begitu saja dilakukan. Ada mekanisme yang harus dilewati. Allah SWT berfirman;
“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan.” (QS. Al-Israa: 33)
Pada ayat tersebut, para ulama menjelaskan bahwa membunuh orang itu tidak boleh sembarangan. Ada beberapa contoh pembunuhan yang mendapatkan pengecualian seperti membela diri saat dirampok atau berjihad di medan perang. Begitu juga hukum qishaash, tidak bisa dilakukan serampangan. Harus ada mekanisme peradilan, pembuktian dan persidangan. Bukti-bukti yang dialamatkan pun harus jelas, jangan sampai ada kasus salah hukum. Memutuskan bahwa seseorang itu melakukan pembunuhan harus didasari bukti yang jelas dan kesaksian. Setelah semuanya terbukti, maka qadhi (hakim) lah yang akan memutuskan bahwa orang tersebut harus dihukum mati atau tidak. Proses ini juga menjamin hak dari semua pihak untuk mendapatkan keadilan. Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka (semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim) harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”. (HR Baihaqi)
Ustadz Tengku Zulkarnain (Wakil Sekjend MUI 2015-2020) pernah menjelaskan bahwa membunuh seorang manusia tanpa ada bukti yang cukup, maka itu merupakan suatu bentuk kezaliman. Jika semua orang menegakkan hukum qishaash tanpa proses pengadilan, maka niscaya akan mudah kita dapati kepala-kepala bergelimpangan di pinggir jalan. Sehingga, dalam menghukum pun harus ada perangkatnya, agar tidak melampaui batas seperti Superman. Tindakan main hakim sendiri hanya akan berujung menjadi tiran pembunuh pada akhirnya.
Akhir kata, dari penjelasan tadi dapat ditarik garis simpulnya. Hukum qishaash dalam hukum Islam menunjukkan bahwa Islam sudah mengatur segalanya. Islam dalam menghadapi masalah pembunuhan selalu bersifat wasathiyyah (moderat). Islam tidak akan lembek seperti Batman, namun tidak melampau seperti Superman. Islam akan tegas menindak pelaku pembunuhan, tetapi Islam tidak semena-mena dalam menghukum orang. Semuanya mengandung hikmah dan dipraktekkan dengan akhlak yang indah. Sebagaimana perkataan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan (Ponpes Al-Fachriyah), bahwa amar ma’ruf harus dengan cara yang ma’ruf, nahi munkar pun harus dengan cara yang ma’ruf.
Referensi :
Imam An-Nawawi. (2001). Hadits Arba’in An-Nawawiyah. (Muhil Dhofir, Terjemahan). Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Rasjid, H. Sulaiman. (1994). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Taylor, Tom, Brian Buccellato. (2013). Injustice: Gods Among Us #1. New York: DC Comics.
Kajian Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan
Kajian Ustadz Tengku Zulkarnain