N250 Gatotkaca
Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh statemen dari seorang yang ‘katanya’ akademisi. Dikabarkan, ada seorang rektor yang meremehkan mahasiswa muslim yang religius. Statement ini berdasarkan tulisan seorang Rektor Universitas yang membagikan pengalamannya ketika menjadi panitia untuk seleksi beasiswa LPDP oleh Kementerian Keuangan. Dalam tulisannya, dia berseloroh bahwa mahasiswa-mahasiswa yang diwawancarainya sangat cerdas, dengan indikator bahasa Inggris yang cas cis cus, aktif di organisasi, dan kontribusi terhadap bangsa. Indikator tambahannya adalah mereka tidak membicarakan hal-hal langit, atau kehidupan sesudah mati. Mahasiswi yang di wawancarai juga dinilai ‘open minded’ karena kepalanya tidak terkurung ‘penutup kepala ala manusia gurun’. Professor tersebut sampai pada puncak kesimpulan, bahwa orang-orang cerdas mencari Tuhan ke negara-negara maju.
Ujaran seperti ini sebenarnya sudah sampai kepada tahap rasis dan chauvisme. Jika kita perhatikan betul, rektor tersebut adalah korban dari polarisasi antara agama dengan sains. Tetapi sebenarnya di satu sisi, masih banyak praktek tahayul dan khurafat yang sebenarnya bertentangan dengan agama dan sains, namun tidak mendapat respon seberat ini, Malahan ada pula yang berpandangan bahwa muslim yang belajar sains, lebih berpotensi terpapar radikalisme. Mahasiswa sains muslim dengan logika eksak dianggap hanya menerima kebenaran mutlak dan kurang fleksibel dalam menghadapi perbedaan. Padahal logikanya tidak sesederhana itu.
Krisis tentang tahayul masih terjadi di sekitar kita. Beberapa waktu sebelumnya, kita dihebohkan dengan maraknya tren memelihara spirit doll (boneka arwah). Tren ini dipopulerkan oleh beberapa selebriti di layar kaca. Konon katanya, boneka tersebut diisi dengan jin dan dapat bertingkah layaknya seperti anak kecil. Tak kalah menarik, suasana pembukaan race perdana MotoGP di Sirkuit Mandalika, NTB pada 18-20 Maret 2022 dihebohkan oleh sosok pawang hujan. Kejadian ini lantas menjadi lelucon internasional. Pawang tersebut mengklaim pekerjaannya berhasil. Tetapi, klaim tersebut dibantah oleh pihak BMKG yang mengatakan menempuh upaya saintifik untuk memindahkan hujan. BMKG juga menegaskan berhentinya hujan hanya karena masalah durasi. Tetapi yang membuat mata terbelalak, pawing hujan tersebut dibayar selama 21 sesi dengan tariff hingga ratusan juta. Ini bukan tentang strategi marketing, tetapi sudah masalah dalam ranah akidah yang mengorbankan anggaran negara.
Pada dasarnya, Islam sendiri membebaskan diri manusia dari segala tahayul. Islam datang ke berbagai negeri, termasuk Nusantara membawa pencerahan untuk umatnya. Sebagaimana dakwah awal generasi pertama Walisongo yakni Syekh Ahmad Jumadil Kubro yang berusaha menghapus praktek perdukunan dan ilmu hitam di kalangan masyarakat Jawa pada saat itu. Para ulama juga memberikan hukum hakam agar manusia bisa lebih beradab. Di masa silam, marak praktek perjudian dan diajarilah agar masyarakat bisa mengelola keuangan dengan lebih baik. Tentu tujuan yang paling utama adalah menegakkan tauhid. Islam membebaskan pemikiran manusia dari menyembah pohon dan gunung keramat kepada menyembah Allah SWT yang menciptakan pohon dan gunung. Beralih dari menumbalkan gadis perawan untuk meminta hujan, menjadi sholat istisqo, berdoa kepada Allah SWT Yang Maha menurunkan hujan.
Peradaban Islam membawa kecemerlangan bagi pengetahuan. Mungkin sebagian kalangan akan protes jika penulis mengambil contoh Baghdad, Andalusia, atau Alexandria. Contohnya kejauhan katanya. Maka izinkan penulis mengambil contoh para ilmuan Indonesia di masa silam. Misalnya seperti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang menulis kitab tentang astronomi dan geografi dengan judul Risalah Ilmu Falak (tentang gerhana matahari dan bulan), Risalatul Qiblah (tentang perhitungan arah kiblat), dan Kur al-Ardhi wa Khath al-Istiwa (Peta Bumi dan Garis Katulistiwa). Ada banyak lagi sarjana yang mengerti tentang ilmu matematika, geografi dan astronomi. Sebut saja Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang pernah menulis kitab Riyadh al-Hussab fi ‘ilm al-Hisab. Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa tidak mungkin Islam anti kepada ilmu pengetahuan. Dengan ilmu hitung, kita dapat menentukan waktu sholat, arah kiblat, sampai pembagian warisan.
Ketika kita berpandangan ke Barat, tentu kita akan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang rasional. Akan tetapi, ternyata mereka pun memiliki ruang kepercayaan takhayul dalam kehidupan mereka. Orang Amerika yang katanya cenderung logis pun kadang memiliki kepercayaan yang aneh dan tidak berdasar. Seperti percaya bahwa angka 4 dan 13 adalah angka sial, sampai menghindari kucing hitam. Kita lihat di beberapa hotel mewah di barat, mereka melewati angka 4 dan 13. Terkadang, angka tersebut diganti dengan nomor 3A atau 12A. Sebagian dari mereka juga mempercayai kesialan jika bertemu dengan kucing hitam, atau arwah gentayangan di malam Halloween. Mereka juga masih mempercayai tarot atau zodiak untuk menentukan nasib mereka.
Bagaimana bisa peradaban yang katanya maju, menguasai dunia dan menginjakkan kaki ke bulan, takut dengan deretan angka yang tidak membawa kemudharatan apa-apa? Ke negeri inikah Rektor tersebut ingin kita mencari Tuhan? Tentang kepercayaan seperti ini, Allah SWT berfirman :
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131).
Anggapan tentang kesialan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini sudah dipatahkan oleh Rasulullah SAW:
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan tidak ada kesialan di bulan shafar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan lafadz:
“Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”
Jika bukan Islam, maka apa akar permasalahan kemunduran kita di bidang teknologi? Kita beranjak pada kondisi Indonesia terhadap iklim inovasi. Tarif pendaftaran Hak Merek untuk UMKM bisa sekitar Rp 500.000 apabila melakukan secara secara online dan Rp 600.000 apabila melakukan secara manual atau offline. Untuk pendaftaran Hak Merek bagi masyarakat umum sebesar Rp 1.800.000 secara online dan Rp 2.000.000 yang dilakukan secara manual atau offline. Bandingkan dengan kondisi di negeri tetangga seperti Malaysia. Malaysia sendiri memiliki kebijakan untuk mensubsidi warganya yang ingin mendaftarkan hak karya intelektual mereka. Sehingga, para innovator tidak dipusingkan dengan urusan birokrasi dan pendanaan. Pikiran mereka bisa fokus mengembangkan riset penelitian.
Dana untuk riset di Indonesia juga dinilai rendah. Berdasarkan data pengeluaran untuk riset dan pengembangan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), investasi perusahaan Indonesia untuk riset dan pengembangan sebesar 0,02% dari PDB, terendah dibandingkan Singapura 1,26%, Malaysia 0,59%, Thailand 0,27%, Vietnam 0,21% dan Filipina 0,04%. Dana riset yang rendah berdampak kepada rendahnya demand terhadap ekspor manufaktur di bidang teknologi. Data dari World Development Indicator (WDI) pada grafik diatas menunjukan bahwa persentase high-technology ekspor terhadap total ekspor manufaktur Indonesia menunjukan tren yang menurun. Di tahun 2010, persentase high-technology ekspor terhadap total ekspor manufaktur Indonesia mencapai 9,7% dan menjadi 5,78% di tahun 2016. Sehingga, saat ini Indonesia menempati peringkat ke-14 dari 17 negara South East Asia, East Asia, dan Oceania (SEAO) dan peringkat ke-85 dari 131 negara dalam Global Innovation Index 2020. Posisi ini tetap stagnan dari tahun 2018.
Ketidaksiapan sarana dan prasarana terhadap teknologi juga menjadi hambatan. Hal ini masih kita jumpai di layanan pemerintahan. Misalnya saja penggunaan E-KTP sebagai kartu identitas yang ter-sinkronisasi melalui data digital. E-KTP yang seharusnya tidak perlu di fotocopy tetap saja harus di fotocopy sebagai syarat administrasi. Bahkan, penulis bersama tim pernah mengikuti lomba inovasi di daerah. Penulis merasa birokrasi kita masih anomali dengan semangat inovasi itu sendiri. Selain harus melampirkan berkas melalui email penulis juga diharuskan untuk mencetak berkas proposal sebanyak dua rangkap. Lalu apa gunanya penulis mengirim berkas melalui email? Jika birokrasi seperti ini saja masih ribet, lantas buat apa membikin wacana birokrasi melalui metaverse? Jangan-jangan hanya menjadi project angan-angan seperti bukit algoritma yang hingga sekarang hanya menjadi jualan politik Budiman Sujatmiko.
Kondisi ini diperparah oleh politisasi di sektor pendidikan. Kita melihat fenomena betapa mudahnya universitas di Indonesia memberikan gelar Doctor/Professor Honoris Causa kepada para pejabat tinggi. Pemilihan rektor juga lekat dengan kepentingan oligarki. Bagaimana bisa, di lingkungan akademik, pengangkatan rektor ditentukan oleh Presiden, bukan oleh dewan senat? Terlebih lagi pengangkatan seorang ketua umum partai sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Padahal, ketua umum tersebut tidak tamat kuliah, yang otomatis tidak memiliki kompetensi untuk jabatan tersebut. Di sisi lain, Presiden Jokowi malah membubarkan Dewan Riset Nasional di tahun 2020 dan Lembaga Eijkman pada tahun 2022. Akhirnya banyak tenaga ahli dan akademisi yang menganggur karena kebijakan tersebut.
Pemerintah kita juga masih bersikap acuh tak acuh terhadap potensi anak bangsa. Prof. Dr. B.J. Habibie adalah seorang ilmuwan cerdas asli Indonesia. Kegemilangan beliau di bidang aerofisika diakui oleh dunia. Penemuan beliau berupa Teori Crack memberi sumbangsih yang luar biasa dalam dunia penerbangan. Berkat teori beliau, pesawat di seluruh dunia kini dapat meminimalisir resiko kecelakaan di udara dan menghemat pengeluaran bahan bakar. Meskipun cemerlang dan kuliah di Jerman, beliau tetap mengedepankan iman dan taqwa dalam menjalani kehidupan. Prinsip ini beliau aktualisasi pula dengan mendirikan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia yang menciptakan orang-orang ‘berotak Jerman berhati Mekkah’. Hanya saja sayang seribu sayang, potensi beliau malah dipandang sebelah mata. Project pesawat N250 Gatotkaca berakhir di museum, sebagai kenangan kondisi dimana kita masih menjadi Macan Asia. Hingga kini, cita-cita beliau agar Indonesia dapat memproduksi pesawat sendiri, tiada kabar berita. Pemerintah pun cenderung tidak menanggapi serius project ini.
Ketika pejabatnya terjangkit tahayul dan mengabaikan pembangunan dari sisi teknologi inilah yang menjadikan Indonesia menjadi mundur. Mereka meninggalkan pedoman Al-Qur’an dan Sunnah serta mengabaikan logika atas nama kearifan lokal. Walaupun dinilai Islam tidak menyumbangkan ilmuwan yang mendapat piala Nobel, setidaknya Islam tidak pernah menghukum mati ilmuwan yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Padahal, jika Islam diberikan ruang, sebagaimana kurikulum pendidikan Islam yang semakin modern diberikan tempat, maka pastilah teknologi kita akan bisa bersaing. Hanya saja, para penganut tahayul itu hanya peduli dengan kekayaan instan dan bukan pada investasi jangka panjang di bidang inovasi. Mereka lebih memilih membayar banyak untuk pawang dan dukun dibanding menjadi angel investor untuk pegiat startup. Indonesia mundur karena mabok tahayul, bukan mabok agama.
Referensi:
Arsalan, Al Amir Syakib. (1992). Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan mengapa Kaum Selain Mereka Maju? Alihbahasa: KH. Moenawar Chalil. Jakarta: Bulan Bintang.
Makka, A. Makmur. (2018). BJ Habibie The Power of Ideas: gagasan, Pencerahan, Kiat Inspiratif tentang Cinta, dan Teknologi. Jakarta: Republika Penerbit.
Adytama, Egi. (2021). Pro Kontra Penunjukan Megawati Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. (https://nasional.tempo.co/read/1516955/pro-kontra-penunjukan-megawati-jadi-ketua-dewan-pengarah-brin)
Anwar, Muhammad Choirul. (2020). Sedih, Pesawat Pertama RI Karya BJ Habibie Berakhir di Museum. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200820075312-4-180980/sedih-pesawat-pertama-ri-karya-bj-habibie-berakhir-di-museum)
Biro Komunikasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. (2021). Indonesia Duduki Peringkat Ke-85 pada Global Innovation Index, Kemenko Marves Gelar Rapat Evaluasi. (https://maritim.go.id/indonesia-duduki-peringkat-ke-85-pada-global-innovation-index/)
Hafil, Muhammad. (2020). Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Juga Pakar Matematika. (https://www.republika.co.id/berita/q4m2lr430/syekh-ahmad-khatib-alminangkabawi-juga-pakar-matematika)
Hidayatullah, Nur. (2019). Fragmen Syekh Arsyad Al-Banjari (https://alif.id/read/nur-hidayatullah/fragmen-syekh-arsyad-b220100p/)
Jemadu, Liberty. (2022). Mengapa Peringkat Inovasi Indonesia Paling Jeblok di antara ASEAN-6? (https://www.suara.com/tekno/2022/02/17/223314/mengapa-peringkat-inovasi-indonesia-paling-jeblok-di-antara-asean-6)
Komisi VII DPR RI. (2022). Tifatul Sembiring Sayangkan Pembubaran LBM Eijkman. (https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/36805/t/Tifatul+Sembiring+Sayangkan+Pembubaran+LBM+Eijkman)
Mahardika, Reza Bangun. (2019). Mengenal Berbagai Kebijakan Inovasi di Berbagai Negara. (https://forbil.id/kebijakan/mengenal-berbagai-kebijakan-inovasi-di-berbagai-negara/reza-bangun-mahardika/)
Rahayu, Cici Marlina. (2017). Mendagri: Tak Lagi oleh Dikti, Rektor Kini Dipilih Presiden. (https://news.detik.com/berita/d-3517470/mendagri-tak-lagi-oleh-dikti-rektor-kini-dipilih-presiden.)
12. Yamananda, Irsan. (2022). BMKG Bantah Hujan di Mandalika Berhenti karena Pawang, Roy Suryo: Alhamdulillah Masih Ada Akal Sehat. (https://lombok.tribunnews.com/2022/03/22/bmkg-bantah-hujan-di-mandalika-berhenti-karena-pawang-roy-suryo-alhamdulillah-masih-ada-akal-sehat.)