Gambar Aksi Bela Islam
Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra
Jika kawan-kawan berjalan-jalan di sekitar Jakarta Pusat, tepatnya di Istana Presiden setiap hari Kamis sore, kawan-kawan akan mendapati suasana sedih mengiring tangis. Meski bukan pemakaman, tetapi banyak sekali orang-orang berpakaian hitam layaknya berkabung. Mereka adalah keluarga korban tragedi HAM dan para aktivis yang tak lelah mengadvokasi mereka untuk mendapatkan keadilan. Sebut saja dari tragedi penghilangan aktivis hingga pembunuhan mahasiswa di akhir masa Orde Baru. Tidak ketinggalan peristiwa pembunuhan Munir yang menyisakan banyak tanda tanya. Tidak semua orang percaya begitu saja bahwa pelakunya adalah Pollycarpus.
Tetapi, para pejuang HAM itu kebanyakan dari kubu Liberalis dan Sosialis Kiri. Sedangkan tragedi kemanusiaan yang menimpa kaum muslimin seakan terlupakan begitu saja dari jejak sejarah. Seolah-olah tidak ada keadilan bagi kaum Muslimin. Di negerinya sendiri, yang mayoritas, mereka sering menjadi korban ketidak adilan dan kebiadaban rezim pemerintah. Padahal mereka memiliki saham yang besar sekali, 90% dalam mendirikan Republik ini. Jika pada masa penjajahan, maka wajar kita disiksa karena musuh yang dihadapi adalah dari kalangan kufar. Tetapi saat kita merdeka, umat Islam yang mayoritas ini pun masih menjadi korban kekejaman rezim. Pada rezim Orde Lama, sudah tak terhitung lagi jumlahnya pembantaian PKI kepada para ulama.
Sejarah menunjukkan, bahwa Komunisme memiliki permusuhan yang amat besar kepada Islam. Dalam menggalang kekuatan melawan kapitalisme, mereka menyatakan permusuhan kepada tujuh setan desa yang harus diganyang. Tujuh setan itu adalah tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon (pembeli hasil bumi yang belum matang), kapitalis birokrat (kabir), tengkulak jahat, dan penguasa jahat. Tetapi, pada akhirnya para kiai, santri, haji, dan amil zakat dianggap sebagai setan desa oleh gerombolan PKI. Bentuk kebencian mereka terhadap Islam juga diekspresikan dengan berbagai slogan. Pada saat pemberontakan di Madiun tahun 1948, mereka meneriakkan yel-yel penyemangat, yaitu ‘pondok bobrok, langgar bubar, santri mati’. PKI secara terang-terangan melecehkan ajaran agama Islam. Pada saat pertunjukkan ludruk di Kediri tahun 1964, LEKRA (Lembaga kebudayaan Rakyat) underbow PKI memulai pentas dengan judul lakon Matine Gusti Allah (matinya Tuhan Allah). Pertunjukkan lainnya juga tidak kalah memprovokasi, dengan judul Gusti Allah Dadi Manten (Gusti Allah Menjadi Pengantin). Pertunjukkan ini juga beberapa kali digerebek oleh BANSER NU. Tan Malaka sendiri akhirnya hengkang dari PKI dan mendirikan Murba. Pada akhirnya, Tan Malaka juga dipenjara di rezim Orde Lama.
Pembantaian oleh komunisme jauh lebih kejam dari pemerintahan sebelumnya. Mereka melakukan pembantaian dan pemberontakan di berbagai tempat di Indonesia. Misalnya dalam kasus Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 dan Kalimantan Timur pada tahun 1964. Revolusi Sosial awalnya adalah doktrin diktator proletariat dari Leon Trotsky, untuk segera mengubah sistem struktur sosial yang baru. Di Nusantara, Institusi kesultanan seperti Kesultanan Asahan, Deli Serdang, Langkat, Bulungan, Tidung dan Kenyah.mereka menyembelih anggota keluarga kerajaan, termasuk para Sultan serta memperkosa putri-putri raja. Mereka juga dua kali melakukan pemberontakan kepada Republik Indonesia. Pemberontakan pertama terjadi di Madiun pada 18 September 1948 dan berakhir tiga bulan kemudian. Pemberontakan ini dilakukan oleh kelompok sayap kiri PKI yaitu Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dalam tragedy ini, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, Gubernur Jawa Timur pertama dibunuh dengan keji. Pemberontakan kedua adalah Gerakan 30 September 1965 (G30S), yang menewaskan enam jenderal TNI Angkatan Darat dan satu perwira pertama. Gerakan ini ditumpas oleh Jenderal Soeharto, yang juga mengakhiri gerakan PKI untuk selama-lamanya. Selama PKI berpengaruh di Istana, sudah tidak terhitung banyaknya kiai, santri dan umat Islam yang dibantai oleh PKI.
Akhirnya suksesi kepemimpinan berguling dari Presiden Soekarno kepada Jend. Soeharto. Pertanyaannya apakah umat Islam mendapatkan keleluasaan selepas itu? Tetaplah umat Islam tidak terlalu mendapatkan kebebasan. Jilbab-jilbab dilarang di lingkungan sekolah dan instansi pemerintahan, dianggap tidak sesuai dengan seragam sekolah dan dinas. Pengajian-pengajian disusupi intel dan dicurigai apabila mereka ingin membentuk kekuatan politik baru untuk menggoncang pemerintahan. Bahkan Partai Islam gagasan Moh. Hatta dan Deliar Noer yakni Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) pun hanya mendapatkan harapan palsu dari pemerintahan. Puncaknya, puluhan ribu umat Islam dibantai oleh para ‘Jendral Merah’ di tubuh TNI, seperti tragedi Tanjung Priok pada 1984 dan Talangsari pada 1989. Peristiwa tersebut adalah salah satu contoh kekejaman rezim orde baru terhadap umat Islam di antara serangkaian kekejaman lainnya yang mungkin masih ditutupi. Kejahatan HAM memang menjadi momok bagi rezim Orde Baru
Pengalaman yang paling mengerikan adalah tragedi Tanjung Priok. Tragedi Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Peristiwa ini dipicu oleh aparat TNI yang masuk ke dalam masjid dengan tidak sopan tanpa melepas sepatu. Saat diprotes oleh warga setempat, warga yang protes itu malah ditangkap dan ditahan. Warga yang tidak terima kemudian melakukan unjuk rasa dan akhirnya bentrok dengan aparat. Aparat kemudian menembaki mereka. Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan ratusan orang tewas oleh tindakan aparat. Paska kejadian ini, tersebar luas sebuah tulisan berjudul ‘Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok’ yang berisi fakta kekejaman tragedi tersebut. Tulisan ini digagas oleh panitia kecil yang menjadi bagian dari Petisi 50. Tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas tulisan tersebut seperti AM Fatwa, Letjend (Purn) TNI HR Dharsono dan mantan Menteri Perindustrian HM Sanusi ditangkap dan dijadikan tahanan politik.
Beberapa tahun setelah tragedi Tanjung Priok, pembantaian serupa juga terjadi di Talangsari. Tragedi Talangsari 1989 yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifestasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana. Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam.
Di era Reformasi, kekerasan pada kaum Muslimin tidak berhenti. Kali ini yang terjadi adalah konflik antar agama yang terjadi di Poso. Tragedi Poso terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama berlangsung pada bulan Desember 1998, kemudian berlanjut ke tahap kedua yang terjadi pada bulan April 2000, dan yang terbesar terjadi pada bulan Mei hingga Juni 2000. Tahap pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara kelompok pemuda Islam dan Kristen. Tahap ketiga yang terjadi pada bulan Mei 2000, secara luas dianggap sebagai periode kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban. Tahap tersebut merupakan ajang balas dendam oleh pihak Kristen setelah dua tahap sebelumnya yang sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak Muslim, dan berlangsung sampai bulan Juli 2000. Tahap ketiga ini memuncak dalam sebuah peristiwa pembantaian paling kejam terjadi di Pesantren Walisongo, Desa Sintuwulemba dimana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang, tanpa peduli mereka menyerah atau tidak. Mereka yang kabur, berhasil ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya dilemparkan ke Sungai Poso. Tiga puluh sembilan mayat kemudian ditemukan di tiga kuburan massal, meskipun sebuah sumber Islam memperkirakan total 191 kematian dalam serangan tersebut. Konflik Poso ini diakhiri dengan penandatangan Deklarasi Malino, perjanjian damai antara pihak Kristen dan Islam pada 20 Desember 2001.
Momentum meledaknya World Trade Centre di Amerika dan rentetan kasus bom oleh teroris di Indonesia menambah legitimasi untuk melakukan kekerasan oleh pihak aparat. Sudah sering kita mendengar berita tentang penangkapan terduga teroris yang tidak terbukti. Salah satunya adalah kasus Siyono, seorang warga asal klaten yang diduga teroris. Berdasarkan laporan Komnas HAM, Siyono diculik pada Selasa, 8 Maret 2016 setelah mengimami Sholat Maghrib di Masjid Mughiroh. Siyono diketahui masuk mobil dan dibawa oleh orang yang tidak dikenal. Hingga keesokan harinya keluarga merasa khawatir karena mendapati Siyono belum pulang dan menghilang. Hingga pada kamis pagi 10 Maret 2016, segerombol anggota Densus 88 mendatangi rumah Siyono dan menggeledahnya. Pada saat itulah keluarga mengetahui bahwa Siyono dibawa dan digelandang ke markas kepolisian. Pada 12 Maret 2016 barulah diketahui bahwa Siyono sudah wafat dan pihak kepolisian menyodorkan 2 amplop berisi uang sebagai ganti kompensasi.
Beberapa ulama, tokoh agama dan imam masjid juga sempat menjadi korban teror dari orang yang tidak diketahui. Kebanyakan mereka terindikasi sebagai orang gila. Modus operandi nya juga sering dilaksanakan pada waktu Subuh dan Isya. Misalnya seperti Ustadz H. Prawoto, Komandan Brigade Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) yang mengalami penganiayaan dan diakhiri dengan pembunuhan. Peristiwa serupa juga hampir dialami oleh Syekh Ali Jaber, seorang ulama penghafal Al-Qur’an. Beliau ditikam dengan pisau oleh orang tak dikenal pada saat tabligh akbar di Lampung tahun 2020 silam. Untungnya, pisau yang diarahkan ke leher beliau hanya menusuk lengan sebelah kanannya. Tidak sampai disitu, kasus pengancaman seperti ini juga dialami beberapa imam masjid. Diantara banyak kasus salah satunya menimpa Imam Masjid Al Mujahidin di Jatijajar, Tapos, Depok, pada Kamis, 28 Januari 2021, subuh. Terduga pelaku diduga hendak melakukan penusukan terhadap Imam Masjid tersebut. Kasus lain terjadi pada Minggu 19 September 2021, sehabis sholat Maghrib. Seorang Ustadz di Tangerang ditembak hingga wafat oleh orang tidak dikenal. Lalu, pada Senin 20 September 2021 siang usai zuhur, seorang ustadz yang sedang mengisi kajian di dalam Masjid di Batam, dikejar dan diserang oleh orang yang mengaku sebagai Komunis. Rangkaian kejadian ini membuat Ustadz Hidayat Nur Wahid mendorong dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk menyelidiki teror penyerangan ulama yang terus terjadi.
Bukan hanya itu, tragedi pembantaian juga secara terang-terangan diakui oleh aparat kepolisian. Aparat polisi membunuh enam orang laskar FPI tanpa melalui proses persidangan. Kejadian ini bermula dari pembuntutan terhadap keluarga Habib Rizieq Syihab pada 6-7 Desember 2020 di jalan dari arah Sentul ke Karawang. Melihat adanya pembuntutan dari mobil yang tidak dikenal, mobil yang ditumpangi Habib Rizieq beserta enam mobil lainnya melaju terlebih dahulu. Sedangkan dua mobil lainnya yang mengawal menjaga di belakang agar mobil pembuntut tidak bisa mengikuti Habib Rizieq. Setelah saling serempet, saling salip dan saling seruduk, akhirnya mobil pengawal Habib Rizieq berhenti di KM 50. Berdasarkan keterangan dari Komnas HAM, dua orang ditemukan meninggal dunia di dalam mobil dengan luka tembak, sedangkan empat orang lainnya dibunuh di dalam mobil. Keesokan harinya, pihak polisi membeberkan bahwa mereka berhasil meringkus enam laskar FPI sebagai bentuk pertahanan diri.
Dengan rentetan kejadian yang menimpa kaum Muslimin, sudah sepantasnya kita juga menuntut keadilan kepada para penjahat kemanusiaan tersebut. Untuk mengenang nyawa-nyawa yang tidak berdosa dan sebagai peringatan kepada sesama manusia agar tidak bertindak sewenang-wenang. Hendaknya kita rutin melaksanakan ‘aksi putihan’ dengan berpakaian serba putih di Jumat sore. Sembari kita mengumandangkan protes dan kritik, kita juga melafalkan berbagai dzikir dan wirid seperti Yaasin tahlil, al-matsurat kubro atau ratib al-haddad. Hal ini guna mengetuk pintu langit seraya memohon pengadilan akhirat yang lebih adil. Tak lupa pula doa ampunan kepada para arwah di akhir aksi, agar mereka mendapatkan rahmat di sisi Allah SWT. Disamping mengumandangkan syair Sholawat Asyghil, kita juga harus mempopulerkan lagi lagu mars Panggilan Jihad, menenggelamkan gaung lagu Buruh Tani dan Darah Juang.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Allahu Akbar!
Kalam suci menyentuh kalbu berjuang,
Maju serentak membela kebenaran,
Untuk negara, bangsa dan kemakmuran,
Hukum Allah tegakkan.. Hukum Allah tegakkan…
Referensi :
Afifi, Anab dan Thowaf Zuharon. (2020). Banjir Darah: Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kiai, Santri, dan Kaum Muslimin. Solo: Aqwam.
Fatwa. A.M. (2004). Menggugat dari Balik Penjara: Surat-Surat Politik A.M. Fatwa. Jakarta: Teraju.
Sudarto, H. (1999). Konflik Islam-Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Tim Peduli Tapol. (1998). Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam. Yogyakarta: Wihdah Press.
Adryamarthanino, Verelladevanka. (2021). Konflik Poso: Latar Belakang, Kronologi, dan Penyelesaian. (https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/30/100000279/konflik-poso-latar-belakang-kronologi-dan-penyelesaian?page=all.)
Antara. (2020). Begini Kronologi Kasus Penusukan Syekh Ali Jaber saat Ceramah. (https://nasional.tempo.co/read/1385877/begini-kronologi-kasus-penusukan-syekh-ali-jaber-saat-ceramah)
Astuti, Dyah Dwi. (2021). Kronologi kematian enam laskar FPI versi Komnas HAM. (https://www.antaranews.com/berita/1934840/kronologi-kematian-enam-laskar-fpi-versi-komnas-ham)
Kholisdinuka, Alfi. (2021). DPR Diminta Bentuk Pansus Usut Teror Penyerangan Tokoh Agama. (https://news.detik.com/berita/d-5732864/dpr-diminta-bentuk-pansus-usut-teror-penyerangan-tokoh-agama.)
Perkasa, Anugrah. (2016). Ini Kronologi Penangkapan Terduga Teroris Siyono di Klaten. (https://kabar24.bisnis.com/read/20160414/16/537798/ini-kronologi-penangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten.)
10. Prawira, Adam. (2020). 6 Anggota FPI Tewas, 15 OKP Islam Desak Bentuk TPF Independen. (https://nasional.sindonews.com/read/265022/13/6-anggota-fpi-tewas-15-okp-islam-desak-bentuk-tpf-independen)