Gambar Al-Qur’an dan Bible
Oleh: Muhammad Sultan Hasan Saputra
Penulis tidak sengaja menonton salah satu konten dari Vertizone TV, media resmi dari Mualaf Center Indonesia. Ternyata ada satu hasil statistik menarik yang harus dicermati, khususnya bagi umat Islam. Hasil wawancara dengan Koh Steven (pendiri Mualaf Center) lumayan mencengangkan, bahwa angka orang yang murtad (keluar dari agama Islam) mulai meningkat pelan-pelan. Data ini ternyata diamini oleh pihak Mercy Mission, mereka mengungkapkan bahwa sebanyak 2 juta muslim Indonesia memilih pindah ke agama Kristen setiap tahunnya. Penulis tidak akan menghabiskan banyak waktu menalar akal jika alasannya karena pernikahan. Yang penulis akan fokuskan adalah alasan lain, yakni alasan teologi.
Banyak kaum Krisitan yang awalnya beragama Islam, mengaku bahwa mereka masuk Kristen karena menerima ketuhanan Yesus. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa Al-Qur’an juga mensiratkan Yesus sebagai juruselamat dengan argument nama Nabi Isa AS disebutkan lebih banyak dari Nabi Muhammad SAW. Alasan lain cukup mencengangkan, yakni bahwa Nabi Isa AS jauh lebih sakti dibanding Nabi Muhammad SAW dengan indikator banyaknya mukjizat. Mukjizat yang dimaksud seperti lahir tanpa seorang ayah, menghidupkan orang mati, menyembuhkan kudis dan kusta, dan mampu berbicara lancar ketika masih bayi. Kemudian dengan kemurahan hatinya, Yesus mengorbankan dirinya di kayu salib demi menebus dosa seluruh manusia. Tidak cukup sampai disitu, Yesus nantinya akan turun kembali ke muka bumi, menjadi juru selamat bagi umat manusia. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar diputuskannya Yesus sebagai seorang Tuhan pada Konsili Nicea, 325 tahun setelah ‘wafatnya’ Yesus.
Jika mukjizat yang super sakti itu dijadikan alasan untuk murtad, maka dengan entengnya penulis mengatakan alasan itu sangat dangkal. Wah kok penulis berani-beraninya bilang itu alasan dangkal? Berikan kesempatan untuk mengemukakan alasannya, yakni miskonsepsi tentang mukjizat.
Banyak dari kita yang masih belum memahami hakikat mukjizat. Mukjizat dalam konsepsi agama Islam adalah suatu kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba pilihannya yang terlihat tidak masuk akal. Kalau dalam istilah agamanya adalah khawariqul aadah. Contohnya yang terjadi pada zaman Nabi adalah Nabi Ibrahim AS yang merasa dingin ketika dibakar api, Nabi Musa AS yang bisa membelah lautan, dan Nabi Isa AS yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Sayangnya, ada sebagian manusia yang menganggap bahwa semua bentuk kesaktian tersebut berasal dari diri Nabi itu sendiri. Sehingga melihat mukjizat yang begitu sakti dari Nabi Isa, sebagian pengikutnya sampai menyembah Beliau.
Padahal, jika kita telaah betul dengan akal yang jernih, Nabi Muhammad lah yang memiliki mukjizat terbesar, yakni Al-Qur’an. Karena, Al-Qur’an memberikan pemahaman nalar yang objektif dan tidak terbatas untuk membuktikan keesaan Allah SWT. Sebagai contoh, ketika musyrikin Quraisy mempertanyakan konsep monoteisme dimana mereka saat itu masih menyembah berhala, mereka bertanya “Bagaimana alam raya yang luas ini hanya diurus oleh satu Tuhan? Bukankah itu tugas yang berat?” kemudian Rasulullah SAW balik bertanya “Bagaimana jika kamu memiliki banyak majikan dengan suruhan yang berbeda-beda dan saling kontradiksi satu sama lainnya?” mereka menjawab “Tentu akan sangat merepotkan,”. Maka Rasulullah dengan fathanahnya menjawab “Kalian itu adalah hamba dan Tuhan adalah majikan kalian.” Hingga sekarang, tidak ada seorangpun dari umat Islam, bahkan dari sekte yang paling menyimpang sekalipun dari ahlussunnah wal jama’ah yang menyembah Nabi Muhammad SAW.
Penalaran logika juga metode dakwah awal yang didahulukan oleh para Nabi dan Rasul. Seperti ketika Nabi Ibrahim AS menghancurkan patung-patung berhala, kemudian meletakkan kapaknya di berhala terbesar. Kemudian ketika masyarakat Kota Ur menuduh Nabi Ibrahim sebagai pelaku penghancuran, Nabi Ibrahim lantas menuduh patung terbesar yang memegang kapak. Dengan tertawa kaumnya mengejek Nabi Ibrahim “Bagaimana bisa patung batu yang tidak bergerak bisa menghancurkan patung?” dengan cerdasnya Nabi Ibrahim menjawab balik “Kalau sudah tahu tidak bisa bergerak kenapa masih kalian sembah?”. Begitu pula ketika Nabi Musa AS mengajak Fir’aun untuk beriman kepada Allah SWT, Tuhan yang lebih berkuasa dari siapapun. Kemudian Firaun bertanya “Yang aku tahu hanya aku yang Maha Kuasa di atas bumi ini.” Nabi Musa kemudian meneruskan “Jika kamu adalah satu-satunya Tuhan, maka sebelum engkau lahir, siapa tuhan yang kalian sembah?” seketika sebagian pengikut Firaun tersadar. Nabi Musa melanjutkan “Tuhanku sudah ada sebelum kalian semua ada. Tidak mungkin Tuhan lahir sesudah adanya alam raya,” Pada akhirnya kedua Nabi tadi dihukum oleh penguasa dan mereka diselamatkan oleh mukjizat.
Mukjizat yang bersifat khawariqul aadah itu sifatnya terbatas dan mempunyai potensi untuk mengalihkan keimanan. Resiko mukjizat juga dikhawatirkan memanjakan umat sehingga jika umat ingin beriman, harus menunjukkan sesuatu hal yang aneh-aneh dahulu. Efek sampingnya, ketika orang-orang tadi terlalu banyak menyaksikan keanehan-keanehan khawariqul aadah pada diri seorang Nabi, orang-orang tersebut malah menuhankan Nabi yang diturunkan kepada mereka tersebut, bukan menuhankan Allah SWT. Hal ini berimplikasi kepada tolak ukur kebenaran yang diukur dengan tingkat kesaktian, bukan dengan nalar hidayah. Padahal, mukjizat adalah kartu AS terakhir yang dipakai ketika terdesak saja.
Hal tersebut pula yang menyebabkan Nabi Isa AS disembah-sembah oleh orang yang mengaku mengikut ajaran-Nya. Sebagian muslim pun yang belum mendalam ilmu agamanya akhirnya memilih murtad karena meyakini indikator kebenaran berdasarkan kesaktian tadi. Padahal, kekuasaan Allah SWT yang menciptakan segala hal yang ada di langit dan bumi jauh lebih hebat dan tiada bandingannya. Jika Allah SWT mampu menciptakan dunia dan seisinya, maka begitu mudahnya pula Allah membuat api menjadi dingin, laut menjadi terbelah, dan manusia bebas dari penyakit. Karena api, laut, dan penyakit itu adalah ciptaan Allah SWT jua dan haruslah patuh pada apapun ketetapan-Nya (sunnatullah) serta qudrat dan iradat-Nya.
Karena beberapa (yang mengaku) pengikut Nabi Isa AS menyembah Nabi Isa, sampai-sampai ketika hari penghakiman tiba, ketika semua makhluk dimintai pertanggungjawaban, Allah SWT mempertanyakan hal ini kepada Nabi Isa AS. Hal ini termaktub di dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 116 yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”.
Nabi Isa AS kemudian memperkuat argumennya bahwa beliau hanya mengajak kaumnya untuk menyembah Allah ta’ala di ayat berikutnya yakni Al-Maidah ayat 117:
“Tidaklah aku katakan kepada mereka kecuali yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu, “Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Dan aku mengawasi mereka selama aku masih hidup. Tatkala aku telah Engkau wafatkan, maka Engkaulah yang memelihara mereka. Dan Engkau Maha Mengawasi setiap sesuatu.”
Sebagaimana pengadilan pada umumnya, maka tentu Allah SWT sebagai hakim akan meminta Nabi Isa AS menunjukkan bukti atas pembelaannya. Maka sebagaimana nabi yang lainnya, Nabi Isa AS meminta persaksian dari umat Nabi Muhammad SAW untuk menjadi saksi yang meringankannya. Umat Nabi Muhammad SAW akan seraya bersaksi dihadapan Allah SWT bahwa mereka tetap beriman kepada Nabi Isa AS sebagai seorang Nabi dan Rasul, tanpa menganggapnya anak Tuhan. Barang buktinya adalah Al-Qur’an yang merekam kronologis kejadiannya.
Sebenarnya, Allah SWT tidak ingin menghakimi, Nabi Isa AS, akan tetapi mengadili ahli kitab yang salah menyembah Nabi Isa AS. Ibarat pepatah ‘pukul anak sindir menantu’. Allah SWT pun sudah mengetahui hal tersebut, namun Allah SWT adalah hakim yang Maha Adil, tidak akan memutuskan suatu perkara tanpa ada persaksian dan barang bukti. Hal ini kiranya yang sering luput dari para hakim dunia.
Ketika kita menyadari bahwa mukjizat adalah hanya sekedar bagian kecil dari bukti kekuasaan Tuhan, dan mukjizat itu adalah bantuan terakhir dikala terdesak, kita bisa mengibaratkan mukjizat itu sebagai opsi bantuan pada games ‘Who Wants to be A Millionaire’. Siapakah pemain yang lebih hebat? Apakah pemain yang mampu menjawab semua jawaban tanpa bantuan, ataukah pemain yang menjawab semua pertanyaan dengan menggunakan semua bantuan? Maka, jika datang misionaris yang memberikan tawaran kepada kaum muslimin ‘Maukah kalian menerima Yesus sebagai Juru Selamat?,’ maka tawarkan balik, ‘Apakah anda mau bergabung menjadi juru selamat di pengadilan akhirat bagi Yesus alaihissalam?’
Referensi :
Bakry, H. Oemar. (1983). Tafsir Rahmat. Jakarta: PT Mutiara
Disadur dari berbagai ceramah KH Abdullah Wasi’an (alm), KH Arsyad Thalib Lubis (alm), Ustadz Insan Mokoginta (alm), Syaikh Ahmad Deedat (alm), dr. Zakir Naik, dan KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha).